My Picture

Some text here.

More about me»

Kamis, 13 Oktober 2011

Korupsi dan Kekuasaan yang Merajalela di bawah Lemahnya Hukum

1.Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau kesungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
    2.Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial (Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh  kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan (ibid., h.37)
3.White-collar crime
Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.

Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat dengan pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).

White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrasi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7).

Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).

Korupsi di Indonesia berkembang secara signifikan dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. . Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).

Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini hanya menyelamatkan uang negara sebanyak Rp. 6,2 triliun dari tindak pidana korupsi. “Uang sebanyak itu cukup jika digunakan untuk membangun 91.000 rumah sederhana bagi warga miskin” (kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas di Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta)

Tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara diperkirakan juga meningkat hingga 2014, karena pada tahun itu Indonesia akan mengadakan pemilihan umum. Tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat dilakukan dengan cara mengeluarkan sebuah peraturan perundang-undangan sebagai dasar dari sebuah kebijakan, tetapi memiliki unsur untuk mendapatkan keuntungan. Hal itu menjadi sebuah model korupsi kontemporer yang terus menggejala di Indonesia, yang dilakukan baik dari sisi politik maupun birokrasi.

gayus timbunan uang ^^
Kasus-kasus lain yang dibahas dalam KPK yakni mengenai pajak negara, Gayus Tambunan yang menghabiskan 28 milyar uang rakyat untuk menyuap aparat negara, kasus Bank Century, dan skandal suap pembangunan wisma atlet oleh Nazaruddin. Publik tentu bertanya-tanya, begitu kuatkah Nazaruddin sehingga KPK sebagai superbody tak berani memeriksanya. Tak mengherankan pula muncul spekulasi politikus yang masih aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memegang kartu truf. Jika dijerat hukum, ia bisa membongkar borok para petinggi Demokrat.Orang tak habis pikir kenapa kasus Nunun begitu sulit dituntaskan. Ketika tersangka masih berada di Singapura pun sebetulnya KPK bisa meminta bantuan negara tetangga ini, paling tidak, untuk memeriksanya. Karena, Indonesia dan Singapura meratifikasi perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Apalagi selama ini berkembang asumsi keterangan Nunun, yang dituduh berperan membagikan cek suap kepada anggota DPR, amat penting untuk menyeret Miranda.Besarnya tekanan politik mungkin membuat KPK kehilangan keberanian. Pemimpin lembaga ini, juga para politikus dan petinggi partai, semestinya menyadari dampak buruknya. Rakyat akan kehilangan harapan, karena negara hukum ini seolah tak berdaya menghadapi Nunun dan Nazaruddin. Semoga Indonesia tidak mengalami keterpurukan didalam hal hukum kembali untuk masa depan nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please leave a comment :)

Followers

About Me

Foto saya
an ordinary teenager. just a student in sma 5 malang. experience around of health and redcross. like`sastra`, politic, science, communication and friendship.